Monday, 2 March 2009

Kabela, bukan hanya sekedar kotak biasa

Kabela, setiap warga asli Bolaang Mongondow atau orang luar yang setidak-tidaknya pernah mengenal dan mempelajari budaya Orang Mongondow pasti tidak asing dengan sebuah kotak berisi sirih pinang/atau cengkeh yang sering terlihat pada saat dilangsungkan acara adat Bolaang Mongondow. Kabela, itulah namanya. Ukurannya bervariasi mulai dari ukuran kecil (10 cm x 5 cm x 5 cm) sampai dengan ukuran yang lumayan besar (30 cm x 25 cm x 20 cm). Ciri utama dari Kabela ini adalah pada bagian luar dihiasi dengan manik-manik yang membentuk gambar tertentu (simbol) atau pola-pola geometrik.

Setiap Kabela memiliki hiasan manik-manik seperti ini, kotaknya ringan dengan dominasi warna merah. Bahan dasar pembuatan kotak kabela ini biasanya terbuat dari pelepah daun Pohon Enau (gaba-gaba) yang dikeringkan. Ayah saya (S.A. Damopolii, Alm.) sering membuat kotak kabela dengan bahan dasar "gaba-gaba" ini. Gaba-gaba di potong sesuai dengan kebutuhan (ukuran kabela) kemudian dijahit dan dipaku (paku kecil) membentuk sebuah kotak kosong (belum mempunyai dasar dan tutup. Setelah itu dasar kabela dibuat dan dipasang pada bagian agak ke tengah dari kotak kabela. Maksud dasar kotak agak ke tengah mungkin agar pada saat memegang kabela posisi tangan masuk sebagian ke bawah kotak kabela, sehingga pegangan menjadi lebih kokoh. Selain itu secara konstruksi dasar yang berada agak ke tengah mampu menahan tekanan dari samping sehingga kotak tidak mudah rusak, maklumlah bahan dasarnya hanya gaba-gaba. Tutup kabela dibuat tersendiri terpisah dari kotaknya. Tutup ini dibuat berdasarkan ukuran kabela itu sendiri agar dapat menutupi kotak kabela. Setelah badan kotak kabela selesai, maka tahap selanjutnya adalah membungkus seluruh kotak kabela dengan kain merah (luar dan dalam), tutupnya masih terpisah. Membungkus kain merah pada kotak kabela diperkuat dengan jahitan agar tidak mudah lepas. Setelah badan kotak kabela dan tutupnya dibungkus kain merah, maka tahap berikut adalah merangkai untaian manik-manik untuk hiasan luar kotak kabela. Merangkai manik-manik ini membutuhkan keahlian tersendiri. Tidak semua orang dapat merangkai manik-manik yang membentuk simbol gambar atau pola-pola simetris ciri khas Bolaang Mongondow.Kerumitan gambar/pola hiasan manik-manik Kabela menunjukkan tingkat keahlian merangkainya sudah mumpuni. 

Setelah selesai merangkai hiasan manik-manik kabela, hiasan ini ditempelkan dengan cara dijahit kebadan kotak kabela (4 sisi) sesuai dengan ukurannya. Demikian pula halnya dengan tutup Kabela pada bagian atasnya ditutupi dengan hiasan manik-manik juga serasi dengan kotaknya. Tahap terakhir adalah menyatukan kotak dengan tutupnya. Tutup ini dirancang dan didesain sedemikian rupa sehingga kalau kotak dibuka tutupnya dapat berdiri tegak dan tidak jatuh. Selesai sudah seluruh tahapan dalam pembuatan Kabela.

Memang Kabela tidak terlepas dari kehidupan Orang Mongondow, setiap upacara adat Bolaang Mongondow  selalu menyertakan Kabela pada acara tersebut. Paling sering kita lihat Kabela digunakan untuk menyambut tamu-tamu adat/istimewa sebagai penghormatan kepada tamu tersebut. Kotak kabela diisi dengan sirih-pinang (momama'an) dan cengkeh untuk dipersembahkan kepada tamu terhormat dalam acara penyambutan tersebut. 

Ketika kita memasuki Bumi Totabuan, dapat dijumpai Gapura Perbatasan dengan simbol Kabela pada bagian atas Gapura. Hal ini menunjukkan bahwa begitu besar pengaruh Kabela pada kehidupan Orang Mongondow dan merupakan simbol adat turum-temurun.

Tampak pada gambar adalah Gapura perbatasan Kabupaten Bolaang Mongondow dan Kabupaten Minahasa Selatan di Desa Insil Kecamatan Passi.

Pada bagian atas ada sebuah bentuk kotak menyarupai Kabela sebagai simbol penyambutan dan penghormatan kepada tamu yang akan datang berkunjung ke wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow. Gapura-gapura semacam ini juga dapat dijumpai di perbatasan Bolmong (Boltim) dengan Kab. Minsel di Desa Guaan Kec. Modayag, perbatasan Bolmong dengan Kab. Minsel di Desa Nanasi Kec. Poigar dan perbatasan Bolmong (Bolsel) dengan Gorontalo di desa Lion Kec. Posigadan.

Demikian pula dalam upacara adat perkawinan Orang Mongondow, kabela memegang peranan penting dalam setiap prosesi adat. Sebagai tempat sirih-pinang dan sebagainya, juga merupakan simbol bahwa yang neikah tersebut adalah Orang Mongondow. Karena begitu terkenalnya Kabela ini sehingga seniman Mongondow menciptakan Tari Kabela yang terkenal dari Bolaang Mongondow. Setiap kali perhelatan adat atau acara pernikahan adat Mongondow, Tari Kabela  selalu ditampilkan pada awal acara. Ibu saya (Ny. Rutniwati Damopolii, SE) merupakan salah seorang yang masih menguasai gerakan asli pada Tari Kabela ini. Tarian ini diajarkan pada anak-anak usia sekolah (SD sampai SMA) dan ditampilkan pada saat pagelaran seni atau upacara adat. Pada tahun 1980-an di bawah bimbingan Ibu Hj. Damopolii-Lamakarate (istri Hi. J.A. Damopolii mantan Bupati Bolmong era 80-an) bersama dengan Ibu saya membentuk sanggar Tari Kabela yang dikenal dengan Sanggar Manduru di kelurahan Biga-Kotamobagu. Sanggar ini sampai sekarang masih eksis dibawah Pimpinan Taha Dadu Mokoginta (staf Dinas Pariwisata Kab. Bolmong) dan masih dipercayakan mengisi setiap pagelaran seni Bolaang Mongondow baik di dalam maupun luar daerah (Jakarta).

Demikian besar arti Kabela bagi Orang Mongondow, sehingga setiap sendi-sendi kehidupannya selalu menghadirkan Kabela (lahir - kawin/menikah - meninggal). Kabela tidak menjadi sekedar kotak berhias manik-manik biasa...melainkan simbol adat Orang Mongondow yang masih dipertahankan sampai sekarang.

Thursday, 19 February 2009

Buah Matoa...hmm...


Sekilas info tentang Buah Matoa...



Buah matoa, memang bukan buah yang biasa ditemukan di semua tempat. Tanaman buah matoa ini menurut beberapa informasi merupakan tanaman asli Papua. Walaupun demikian tanaman ini juga dapat kita lihat di Sulawesi Utara khususnya Kabupaten Bolaang Mongondow. Tanaman yang memiliki nama Latin: Pometia spp (Pometia pinnata, Pometia coreacae, Pometia acuminata) memiliki buah yang manis dan enak dimakan. Rasanya agak mirip campuran rasa buah durian, lengkeng dan rambutan.

Kalau di Irian dan Sulawesi Utara di sebut Matoa, di daerah lain menyebutnya dengan
Ganggo, Jagir, Jampania, Kasai, Kase, Kungkil, Lamusi, Lanteneng,
Lengsar, Leungsar, Mutoa, Pakam, Sapen, Tawan, Tawang dan Wusel
,
dan Taun untuk Papua New Guinea.

Buahnya bergerombol dalam tandan yang menempel di ranting dan ujung cabang, masing-masing tandan memiliki buah berjumlah 15 buah atau lebih (jika tidak gugur saat musim hujan). Buah matoa merupakan tanaman yang dapat tumbuh dengan mudah dimana saja. Di Sulawesi Utara tepatnya di Kota Kotamobagu dengan mudah kita jumpai tanaman ini hampir di setiap pekarangan rumah. Bahkan pada saat sedang musim, panen buah membanjir dan dijual di pasar-pasar tradisional sampai Supermarket. Harganya bervariasi, per kilogram dihargai Rp. 7.500 - 15.000, tergantung jenis dan kondisi buah (serta sudah tentu...siapa yang membelinya). Tanaman ini menjadi Maskot Kota Kotamobagu, karena pada tahun 2007 lalu Walikota Kotamobagu telah mencanangkan bahwa buah Matoa menjadi kebanggaan kota ini. Sehingga Kota Kotamobagu dikenal juga sebagai Kota Matoa.

Kalau di Sulawesi Utara hama tanaman ini adalah kelelawar dan burung. Sering kali kita dapat melihat petani membungkus buah ini saat masih di pohon agar kelak saat matang tidak disikat oleh binatang yang tak diundang. 

Saat memanen buah matoa, diusahakan agar buah ini jangan sampai jatuh ke tanah, karena jika jatuh sering pecah atau rusak. Buah ini memiliki memiliki jenis yang bermacam-macam, umumnya yang berwarna ungu tua/coklat kemerah-merahan bila sudah matang. Namun ada pula yang tetap berwarna hijau jika sudah matang. Di halaman belakang rumahku di Kotamobagu (Biga) ada tanaman matoa yang kulit buahnya kuning jika sudah matang, namun sayang pohonnya mati setelah 5 kali berbuah. Sampai sekarang buah matoa ini tetap menjadi rebutan jika datang musimnya. Sekali-kali datanglah ke Kota Kotamobagu saat buah ini sedang mulai musim. Gerombol buah yang menggoda, menggelantung di setiap ranting tanaman pohon ini sehingga merupakan suatu pemadangan yang indah...hmm.

Sumber:

http://masponco.blogspot.com/ 2007/12/buah-matoa.html

http://prastowo.staff.ugm.ac.id/ 5EEC41506564.feed

http://groups.yahoo.com/group/lingkungan/message/2898

http://green-effect.blogspot.com/2008/01/buah-matoa.html


Wednesday, 18 February 2009

Sistem “Gotong Royong” Orang Mongondow

Sejak semula, masyarakat Bolaang Mongondow mengenal tiga macam cara kehidupan bergotong royong yang masih terpelihara dan dilestarikan terus sampai sekarang ini, yitu :
1. Pogogutat, potolu adi’
2. Tonggolipu’
3. Posad (mokidulu) 

Tujuan kehidupan bergotong royong ini sama, namun cara pelaksanaaannya agak berbeda.
Pogogutat, potolu adi’ : lebih bersifat kekeluargaan. Pogogutat berasal dari kata utat yang berarti : saudara (kandung,sepupu). Potolu adi’ asal kata : Tolu adi’ (motolu adi’) yang berarti : ayah, ibu dan anak-anak (anaka beranak atau tiga beranak).
Contoh pogogutat : bila ada keluarga yang hedak mengadakan pesta pernikahan anak, maka sesudah didapatkan kesepakatan tentang waktu pelaksanaanya, disampaikanlah hasrat tersebut kepada sanak keluarga, bahkan kepada seluruh anggota masyarakat dalam satu desa. Dua atau tiga hari sebelum pelaksanaan pernikahan, berdatanganlah kaum keluarga, tetangga, warga desa, dibawah koordinasi pemerintah, guhanga atau tua-tua adat, ketua rukun dan lain-lain membantu kelancaran pelaksanaan pesta. Kaum pria membawa bahan seperti : bambu atap rumbia, tali rotan, tali ijuk, tiang pancang bercabang dan bahan-bahan lain untuk mendirikan bangsal. Ada yang membawa gerobak berisi kayu api, tempurung, sabut kelapa dan lain-lain untuk bahan pemasak. Pada saatnya mendekati hari pernikahan, para pemuda remaja pria dan wanita datang membantu meminjam alat-alat masak, alat makan, perlengkapan meja makan, menghias bangsal, puadai, dan lain-lain. Ada yang membantu persiapan di dapur, mengolah rempah-rempah dan lain-lain. Suasana diliputi kegembiraan, tawa dan gelak terdengar. Pada saat pelaksanaan pesta nikah, para remaja dan pemuda itu membantu pelayanan kepada para tamu undangan. Kaum wanita pada sore hari menjelang malam berdatangan membawa bahan : beras, ayam, minyak kelapa, minyak tanah, rempah-rempah, gula putih, gula merah dan lain sebagainya keperluan dapur. Semua bahan yang dibawa baik oleh kaum pria ataupun oleh kaum wanita, adalah berupa sumbangan ikhlas, tanpa menuntut imbalan karena rasa kekeluargaanyang besar dan toleransi yang tinggi 9unsur persatuan dan kesatuan demi kesjahteraan bersama).
Tonggolipu’ : asal kata lipu’ yang berarti : desa, kampung, tempat kediaman. Bila ada rencana pembangunan dalam desa (sekolah, rumah ibadah, jalan, jembatan, rumah tempat tinggal dan lain-lain), maka seluruh anggota masyarakat secara serentak mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan dimaksud tanpa paksaan, tapi atas kesadaran sendiri. Kaum wanita datang membawa makanan dan minuman. Dalam kegiatan seperti itu bahan dan ramuan sudah disediakan terlebih dahulu seperti bahan bangunan dan lain-lain. Bila ada anggota masyarakat yang meninggal, maka para tetangga serentak berkumpul membuat bangsal dan menyediakan tempat duduk dan membantu pekerjaan pemakaman sampai selesai. Dahulu adalah merupakan kebiasaan, keluarga datang berkunjung ke rumah duka untuk menghibur dengan mengadakan permainan tertentu seperti : monondatu, mokaotan, mokensi, monangki’, dan lain-lain. Kegiatan seperti itu diadakan mulai 7 sampai 14 malam, selama tongguluan (tempat tidur berhias) masih belum dikeluarkan. Kini acara-acara seperti itu diisi dengan kegiatan-kegiatan agama.
Posad atau mokidulu : Posad berarti berarti saling membantu . Umumnya posad ini sudah berbentuk organisasi. Koordinator membentuk organisasi dengan sejumlah anggota sesuai keperluan. Anggota posad mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dalam arti saling berbalasan. Bkerja membersihkan kebun bersama-sama dengan ketentuan, setiap anggota kelompok akan mendapat giliran kebunnya dibersihkan. Dalam posad biasanya ada sanksi, yaitu anggota yang tidak aktif akan dikeluarkan dari keanggotaan, beberapa ketentuan sesuai kesepakatan, misalnya : setiap anggota posad dalam melaksanakan pekerjaan ada yang membawa bekal sendiri, tapi agak berbeda dengan mokidulu (minta bantuan), seseorang minta bantuan tenaga dari sejumlah teman untuk menyelesaikan sesuatu pekerjaan, ada yang bekerja secara sukarela, ada pula yang mengharapkan untuk dibalas.

Sumber: http://www.geocities.com/potabalink/bag9.htm

Friday, 13 February 2009

Mengenal Sayur Daun Gedi...(Yondok)

Daun Gedi (Sayor Yondok) memiliki nama latin Hibiscus Manihot L. di negara lain juga daun gedi disebut (Philipina: Lagikuway, Thailand: Po fai, Inggris: Edible hibiscus). 
Daun Gedi merupakan sayur khas di Sulawesi Utara khususnya Bolaang Mongondow karena orang Mongondow pasti tidak akan pernah lupa pada rasa nikmat masakan sayur gedi yang dikenal dengan Sayor Yondok. Dalam pengolahan sayur ini banyak resep tergantung selera masing-masing peminat, boleh memasak dengan santan atau cuma di rebus biasa dengan tambahan bumbu khas lainnya. Namun sayur gedi ini identik dengan dimasak santan ditambah rebung (oyobung), ubi talas (bete)  dan bumbu lain, kemudian ditambahkan lagi dengan ikan asin (ikang garam) sebagai teman makan sayur yondok.

Bagi orang asli Manado atau Bolaang Mongondow makan Bubur Manado (tinutuan) tidak lengkap jika tidak ditambahkan daun gedi ini sebagai campuran. Daun gedi mempunyai fungsi sebagai penambah rasa gurih serta mengentalkan. Selain lezat, daun gedi juga kaya akan vitamin A, zat besi dan serat yang baik untuk saluran pencernaan. Kolagen terkandung di dalam daun ini juga bermanfaat antioksidan dan menjaga kesehatan kulit. Mungkin karena banyak mengandung serat sehingga menyerap kolesterol dan lemak. Sehingga banyak orang berpendapat bahwa sayur ini dapat membuat orang langsing dan membantu menurunkan kadar kolesterol dan hipertensi. Namun belum ada penelitian khusus tentang hal ini.  Karena daunnya banyak mengandung banyak zat kolagen yang bersifat antioksidan, maka berguna untuk merawat kesehatan kulit dan melancarkan peredaran darah. Konon kabarnya, pada suatu masa, Pak Harto (Almarhum) senang merawat sendiri tanaman ini di rumah kediamannya di Cendana, karena beliau suka makan rebusan daun itu guna pemulihan dan perawatan kesehatannya di masa tua.

Saat ini daun gedi susah dijumpai, padahal tanaman ini sangat mudah tumbuh dan diperbanyak. Cukup stek batang dan tanam di media tanah yang gembur pasti akan tumbuh subur. Tinggi tanaman bisa mencapai dua meter dan jika tanahnya cocok akan sangat rimbun dengan daun. Daunnya hijau dan sepintas mirip daun singkong atau mariyuana, karena daunnya berbentuk 5 jari mirip daun singkong atau mariyuana.

Orang Mongondow, terutama yang ada diperantauan sering menanam daun gedi ini di pekarangan rumah atau pot agar sewaktu-waktu bila ingin memasak sudah tersedia. Memang rasa daun gedi sangat kental di lidah orang Mongondow sehingga kemana saja selalu terbayang...sayur yondok. Bukan cuma orang Mongondow saja yang terkenang dengan daun gedi ini, menurut cerita kalau ada orang luar yang pernah makan sayur daun gedi ini pasti tidak akan pernah lupa rasanya dan akan selalu mencari dimana tempat yang ada daun gedi ini. Percaya atau tidak? Wallahualam bisawab....

Sumber: dari berbagai sumber, 2009

http://plantamor.com

http://budiboga.blogspot.com/2008/08/kuliner-manado-daun-gedi.html

http://stefirengkuan.multiply.com/photos/album/5/Sayur_Gedi

Friday, 6 February 2009

Sistem Pemerintahan Kerajaan Bolaang Mongondow

Sistem pemerintahan dibawah ini berlaku sejak masa pemerintahan Tadohe (1600-1650), yaitu mulai diberlakukannya ”dodandian Paloko bo Kinalang” Tudu in Passi hingga pemerintahan Raja Riedel Manuel Manoppo (1892-1901).

Pemerintahan Pusat :

1. Raja (Datu), dipilih dari anak atau cucu raja laki-laki, melalui keputusan Dewan Musyawarah Rakyat yang dipimpin Sadaha Tompunuon. Suksesi raja terjadi karena raja meninggal, sakit (mis : hilang ingatan), atau diturunkan karena tidak mengemban amanah hukum adat kerajaan.

2. Sadaha Tompunuon
Perdana menteri, pemegang hukum adat kerajaan (yang dihafal), penyimpan harta benda/pusaka milik kerajaan, pembagi hak untuk raja dan pejabat2 kerajaan. Jabatan ini dijabat oleh keturunan Tompunuon, yaitu orang yang ahli hafal. Keturunan Tompunuon berasal dari Inalie dan Amalie (Bogani dari Dumoga yang membesarkan/mendidik Mokodoludut/Punu pertama kerajaan Bolaang Mongondow). Sadaha Tompunuon yang pernah menjabat, mis : Sadaha Jambat Kolopita, Sadaha Pakiara [kakek dari Kapita Raja Mokoginta, dari ibunya, Inde Tomboona)], Sadaha Sipasi Mamontoh. Sadaha Tompunuon terakhir kerajaan Bolaang Mongondow adalah Sunge Lasabuda (s/d 1906)

3. Presiden Raja
Urusan luar negeri, urusan administrasi kerajaan. Jabatan ini dipegang oleh anak/cucu raja atau dari golongan kohongian. Mis: Presiden Raja Lando Ch Manoppo (anak raja Christoffel Manoppo), Presiden Raja Luri Mokoagow, Presiden Raja PA Sugeha.

4. Kapiten Laut
Urusan Kepelabuhanan/kemaritiman (dulu pusat kerajaan di Bolaang yang merupakan wilayah pesisir). Jabatan ini diduduki oleh anak atau cucu raja. Mis : Kapiten Laut Tunggali, Kapiten Laut Dondo, Kapiten Laut Wakat C Manoppo, Kapiten Laut PA Sugeha,

5.Jogugu
Menteri dalam negeri, dijabat oleh golongan Simpal ke atas. Mis :Jogugu Bagoa, Jogugu Datuela, Jogugu Daeng, Jogugu Simon Damopolii (Pemerintahan raja Salmon Manoppo), Jogugu Umbola, Jogugu Willem Johanis Damopolii, Jogugu Abram Patra Mokoginta (Jogugu terakhir kerajaan Bolaang Mongondow, 1927)

6. Major Cadato
Kepala keamanan kerajaan. Tugasnya selain sebagai kepala keamanan kerajaan juga bertugas untuk menangkap lawan-lawan raja. Jabatan ini diduduki oleh keluarga dekat raja. Mis : Tandanusa Mokoagow, Mundung Mokoginta (ayah dari Jogugu A.P. Mokoginta), Patarandang Mokoagow.

Raja, Sadaha Tompunuon, Jogugu, Presiden Raja dan Kapiten Laut disebut pemerintahan pusat. Kecuali Sadaha Tompunuon semuanya bekedudukan di Bolaang, yang merupakan pusat pemerintahan kerajaan.


Dewan Musyawarah Rakyat :

Selain pemerintahan pusat yang berkedudukan di Bolaang, kerajaan Bolaang Mongondow juga mempunyai lembaga yang disebut Dewan Musyawarah Rakyat yang anggotanya tediri dari :

Sadaha Tompunuon sebagai Ketua
Panghulu Passi sebagai Anggota Istimewa
Panghulu Lolayan sebagai Anggota Istimewa
Kepala desa yang bergelar Hukum Major sebagai Anggota

Dewan musyawarah rakyat ini berfungsi antara lain : memilih, mengangkat dan memberhentikan Raja serta memutuskan hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan serta amandemen hukum adat kerajaan Bolaang Mongondow.

1. Panghulu
Panghulu adalah jabatan kepala wilayah adat. Kerajaan Bolaang Mongondow mempunyai 4 (empat) wilayah adat masing-masing : Passi, Lolayan, Kotabunan dan Bolaang. Khusus wilayah Passi dan Lolayan pemimpin wilayah adat disebut Kohongian in Passi dan Kohongian in Lolayan, yang diberi gelar Panghulu. Yang pernah menjadi Penghulu Passi adalah : Lao Mokodompit, Doludu Mokodompit, Lamojon Mokodompit, Popalan Paganti Mokodompit, Sainun Mokodompit, Mamuda Mokoginta, Namug Mokoginta, Bolaba Mokoginta, Goni Abraham Mokoginta, Lomotu Mokoginta, Manuel Bandjar Manoppo. Sedangkan yang pernah menjabat Panghulu Lolayan antara lain Mahebat Kadengkang.

Wilayah adat Kotabunan dan Bolaang biasanya dijabat oleh keluarga raja, misalnya : Abraham Patra Mokoginta (Panghulu Kotabunan), Samer Abraham Sugeha (Panghulu Bolaang). Riedel Manuel Manoppo sebelum menjadi raja pernah menjabat Panghulu Kotabunan.

2. Hukum Major, Kapita Raja, Sangadi, Kimalaha
Hukum Major adalah kepala desa dari desa yang besar. Kapita Raja adalah kepala desa dari sebuah desa kecil dan berasal dari keturunan kohongian. Sangadi adalah kepala desa dari sebuah desa besar juga bisa kecil yang berasal dari keturunan pemuka masyarakat setempat (simpal). Kimalaha adalah kepala desa dari suatu desa besar.

Sumber: Ridwan Lasabuda, 2009

Thursday, 5 February 2009

Busana Tradisional Bolaang Mongondow

Pakaian adat (Salu)

Busana adat tradisional daerah Bolaang Mongondow, sangat erat kaitannya dengan latar belakang kehidupan masyarakat pada masa lalu. Secara historis wilayah ini terbentuk dari penggabungan empat kerajaan yang hidup pada masa penjajahan Belanda. Keempat kerajaan tersebut terdiri atas Kerajaan Bolaang Mongondow, Bolaang Uki, Bintauna, dan Kerajaan Kaidipang Besar. Struktur masyarakat dengan kehidupan bernuansa kerajaan pada waktu itu, melahirkan stratifikasi sosial yang tegas. Masyarakat terbagi ke dalam beberapa lapisan sosial, mulai dari golongan rakyat biasa hingga kaum bangsawan yang menempati kedudukan paling tinggi di dalam masyarakat.

Aktualisasi dari semua itu, tampak jelas antara lain pada busana warga masyarakat daerah Bolaang Mongondow yang dikenakan pada kesempatan-kesempatan tertentu, atau yang kini lebih dikenal sebagai busana adat tradisional mereka. Pada masa itu, ketentuan adat mengatur setiap anggota masyarakat agar menggunakan busana sesuai dengan kedudukan nya. Oleh karena itu, tidaklah heran bila busana adat mereka relatif lebih banyak karena setiap lapisan masyarakat memiliki busana tersendiri.

Busana yang pada umumnya dikenakan oleh kaum bangsawan terlihat lebih beragam bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini dikarenakan kegiatan sosial mereka yang sarat dengan acaraacara seremonial, yang berhubungan dengan kegiatan kerajaan maupun yang berkaitan dengan upacara di seputar lingkaran hidup mereka. Beberapa contoh di antaranya adalah busana kebesaran raja atau busana yang dipakai oleh golongan bangsawan pada saat berlangsung upacara penobatan raja, menerima tamu-tamu kerajaan, menghadiri undangan-undangan resmi, atau busana yang khusus digunakan untuk bekerja; busana bayi; busana pengantin, pengantin wanita maupun pengantin pria; dan busana yang dikenakan pada saat upacara kehamilan dan kematian.

Sementara itu, ada beberapa contoh busana adat lainnya yang dipakai oleh mereka yang berasal dari golongan di luar bangsawan. Misalnya, busana kohongian, yakni busana yang pada masa itu dikenakan oleh anggota masyarakat yang menempati status sosial satu tingkat di bawah kaum bangsawan, tepatnya digunakan pada upacara perkawinan; busana simpal, yaitu busana yang khusus digunakan oleh warga masyarakat yang termasuk ke dalam golongan pendamping pemerintah dalam kerajaan. Sama halnya dengan busana kohongian, busana simpal pun dikenakan pada upacara perkawinan; Busana kerja guha-ngea, yaitu busana kerja para pemangku adat yang dipakai pada saat berlangsung upacara-upacara kerajaan. Selain itu, ada juga busana rakyat biasa yang kerapkali tampak pada saat melakukan panen padi.

Melihat wujud busana adat tradsional daerah Bolaang Mongondow, tampak pengaruh Melayu begitu kental dan dominan mewarnai tampilannya. Pada umumnya, busana yang dikenakan oleh kaum wanita terdiri atas kain dan kebaya atau salu, sedangkan busana kaum prianya meliputi ikat kepala atau mangilenso, baju atau baniang, celana dan sarung tenun. Secara umum, busana adat yang dikenakan oleh kaum bangsawan maupun golongan masyarakat lainnya tampak serupa. Akan tetapi, ada bagian busana yang dapat membedakan kedudukan seseorang. Hal tersebut terletak pada detil pakaian, kelengkapan aksesori yang menempel pada tubuh, serta kualitas bahan yang digunakan.

Dalam hal ini, busana adat tradisional kaum bangsawan tampil dengan satu citra tersendiri. Detil yang tampak pada busana mereka memang lebih banyak bila dibandingkan dengan busana dari kelompok masyarakt lainnya. Sama pula halnya dengan aksesorinya yang demikian lengkap. Keberanian dalam memilih warna-warna busana yang terang dan mencolok seperti merah, ungu, kuning, keemaasan, dan hijau dipadu dengan aksesori yang terbuat dari emas, serta kualitas bahan yang paling baik, tidak diragukan lagi melahirkan satu sosok busana yang cukup indah dan menawan. Salah satunya tampak pada busana kebesaran raja berikut busana pengantinnya. Kekhasan lain yang tampak istimewa terletak pada ikat kepala pria yang menjulang tinggi, seakan ingin mengukuhkan kedudukan mereka yang menempati tingkatan sosial tertinggi. Selain busana kebesaran seperti itu, para bangsawan pun memiliki busana kedukaan, yakni busana berwarna hitam yang dikenakan pada waktu menghadiri upacara kematian. Dalam hal ini, pemilihan warna sangat dominan untuk mengekspresikan emosi mereka pada saat-saat seperti itu. Di samping itu, juga ada larangan untuk mengenakan berbagai perhiasan jenis apa pun.

Adapun busana yang biasa dikenakan oleh anggota masyarakat di luar golongan bangsawan, tentu saja tampilannya berbeda dengan busana milik para bangsawan. Semakin rendah status seseorang di dalam tingkatan sosial masyarakatnya, semakin sederhana pula busana yang mereka miliki. Kesederhanaan tersebut tampak dari kulitas bahan yang dipakai, detil busana, serta aksesorinya. Khusus mengenai perhiasan, mereka yang termasuk ke dalam lapisan kohongian atau golongan simpal tidak mengenakan perhiasan yang terbuat dari emas melainkan perhiasan perak. Bahkan akan jauh lebih sederhana lagi pada busana adat yang boleh dikenakan oleh rakyat biasa. Dalam hal ikat kepala pria misalnya, ketinggian ikat kepala akan lebih rendah daripada ikat kepala yang dipakai oleh kaum bangsawan.

Meskipun saat ini pemahaman warga masyarakat Bolaang Mongondow terhadap fungsi busana adat tradisional mereka tidak setegas dahulu, informasi di balik keberadaan busana tersebut memang selayaknya tidak sirna. Pemilihan dan penentuan unsur berikut kelengkapan busana adat tradisional daerah tersebut, memang tidak terlepas dari simbolisasi sebuah makna yang ingin disampaikan. Beberapa di antaranya berkaitan dengan sistem kepercayaan, sistem religi, atau bahkan berhubungan erat dengan sejumlah fenomena sosial pada masa itu.

Sumber: Ria Andayani Somantri

Wednesday, 4 February 2009

Pengertian TOTABUAN...

Awal abad 20 Bolaang Mongondow, terdiri dari distrik Mongondow (Passi dan Lolayan), Onder distrik Kotabunan, Bolaang dan Dumoga. Pembagian ini dilakukan sejak pemerintah kolonial Belanda menempatkan perwakilannya (Controleur) di daerah ini.

Pada masa itu, masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman [terutama dataran tinggi di distrik Mongondow (Passi dan Lolayan)] selalu membutuhkan garam, ikan dan hasil hutan (damar) untuk kebutuhan hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhan ini biasanya kaum lelakinya meninggalkan desa masuk ke hutan untuk mencari damar, atau menuju daerah pesisir pantai untuk membuat garam (modapug) dan menangkap ikan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, biasanya mereka tinggal agak lama di wilayah pesisir. Selain membuat garam dan menangkap ikan, mereka juga membuat kebun dan menanaminya dengan padi, jagung dan kelapa (tanaman ini sudah dikenal sejak zaman pemerintahan Tadohe yang diperkenalkan oleh bangsa Spanyol sekitar abad ke 17). Tanah yang di tempati inilah yang disebut Totabuan. Bila mereka telah merasa nyaman tinggal di wilayah pesisir ini, biasanya anggota keluarganya akan diboyong ikut bersama menetap di Totabuan. Semakin lama, semakin banyak kepala keluarga yang membawa anggota keluarganya ke tempat baru tersebut, akhirnya mereka mulai membentuk pedukuan baru. Tetapi pedukuan yang baru ini, tetap diawasi oleh pemerintah desa asal mereka, terutama mereka yang telah pindah secara permanen. Pedukuan yang baru ini, tidak membuat Sigi 1), hal ini menunjukkan bahwa mereka masih terikat secara adat dengan desa asal mereka di pedalaman.

Desa-desa yang memiliki Totabuan di daerah pesisir, antara lain :

No. Nama desa asal (Totabuan di)

1. Poyowa Besar (Nuangan)
2. Kobo Kecil (Nuangan)
3. Kobo Besar (Molobog)
4. Kopandakan (Buyat)
5. Otam (Nonapan)
6. Moyag (Motongkad)
7. Pobundayan (Matandoi)
8. Molinow (Tolog dan Kotabunan)
9. Passi (Poigar)
10. Biga (Tombolikat)
11. Motoboi besar (Alot, Oyuod, Matabulu)
12. Poyowa Kecil (Pinolosian)
13. Mongondow (Ayong, Sampaka, Babo)

1) Sigi (podugu), adalah semacam kuil tempat penyembahan pada Ompu Duata (Yang Maha Kuasa) dimana didalamnya tersimpan benda antik (mis:piring tua) yang berasal dari leluhur. Sigi merupakan simbol persatuan desa. Setiap desa ditandai dengan adanya sebuah Sigi. Pada waktu upacara monibi (upacara pengobatan desa, penyembahan kepada roh leluhur atau pengorbanan), seluruh anggota masyarakat desa turut serta. Mereka menyembelih babi, kambing betina dan ayam sebagai bentuk persembahannya dimana darahnya dipercikkan pada tangga sigi. Sigi juga berfungsi sebagai tempat penghapusan dosa bagi para pelanggar adat untuk menghilangkan aibnya.

Sumber: Ridwan Lasabuda